Ritual Tiwah –
Suku dayak adalah suku asli Pulau Kalimantan yang memiliki budaya asli dan
masih terus dilakukan secara turun temurun, salah satunya adalah ritual tiwah.
Dengan menjalankan ritual ini diyakini roh orang yang sudah meninggal bisa
langsung masuk surga. Ritual tiwah Suku Dayak merupakan warisan dari leluhur
atau nenek moyang dan masih terus dilakukan hingga sekarang.
Berdasarkan tradisi, ritual tiwah dijalankan dengan cara
mengantar tulang jenazah yang sudah meninggal ke sebuah tempat yang disebut
sandung atau rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk orang yang sudah
meninggal. Ritual ini sangat sakral dan wajib dilakukan oleh semua orang yang
masih memiliki garis keturunan suku dayak. Ada banyak prosesi yang harus
dilakukan, mulai dari pengantaran tulang jenazah, iringan suara gong, tarian
dan ritual lainnya.
Ritual Tiwah Suku Dayak
Prosesi Upacara Tiwah
Ritual tiwah dipercaya dapat melancarkan perjalanan orang
yang meninggal menuju surga. Menurut kepercayaan suku dayak, surga dikenal
dengan nama Lewu Tatau atau Habusung Hintan yaitu sebuah tempat yang penuh
dengan keindahan dan kedamaian yang sudah disiapkan oleh Yang Maha Kuasa di
langit ketujuh. Jika upacara tiwah sudah dilakukan, maka pasangan yang
ditinggalkan sudah mendapat status janda ataupun duda dan diperbolehkan untuk
menikah lagi.
Adapun tata cara dalam melakukan ritual tiwah cukup banyak
dan terkadang menelan biaya yang tidak sedikit. Namun, kepala suku sepakat
untuk memotong ritual yang dinilai menelan biaya yang mahal karena seharusnya
upacara tiwah tidak memberatkan keluarga si jenazah.
Peran pada Ritual Tiwah
Ada beberapa peran dalam melakukan upacara tiwah, yaitu :
Balian
Balian merupakan seorang wanita yang bertugas sebagai
mediator antara manusia dengan mahluk lain yang tidak terlihat mata. Balian ini
juga berperan untuk menyampaikan permohonan manusia kepada Ranying Hattala
melalui roh baik yang ditugaskan khusus untuk menjaga manusia. Tidak semua
orang bisa menjadi balian.
Adapun tanda-tanda terpilihnya seseorang menjadi balian
yaitu seorang anak perempuan yang lahir dengan plasenta yang masih utuh dan
ketika tumbuh besar perilakunya terlihat berbeda dibandingkan anak-anak yang
seusia dengannya, bahkan anak perempuan tersebut sering mengalami kejadian yang
tidak masuk akal.
Basir
Peran basir tidak jauh berbeda dengan balian yaitu sebagai
mediator dengan mahluk halus dengan manusia. Pada masa lalu, basir ini
merupakan anak laki-laki yang perilakunya seperti perempuan, tapi sekarang ini
hal tersebut sudah tidak dianggap lagi. Sekarang ini, basir lebih dikenal
dengan seseorang yang memiliki kemampuan dala hal spiritual dan juga pengobatan
khususnya penyembuhan yang berhubungan dengan dunia mistik.
Pisur
Dalam agama Kaharingan, pisur merupakan jabatan atau pangkat
dalam setiap upacara keagamaan. Maka dari itu, pisur ini hanya memiliki peran
pada setiap upacara agama saja tapi tidak ada hak pada upacara yang berhubungan
dengan tradisi atau adat.
Mahanteran
Peran mahanteran yaitu sebagai mediator manusia dengan
Rawing Tempun Telun. Mahanteran biasanya duduk di atas gong sambil memegang
batanggui sampule dare dan duhung.
Tata Cara Pelaksaan Upacara Tiwah
Adapun proses pelaksanaan ritual Tiwah ini meliputi :
Balai Pangun Jandau
Hari pertama diawali dengan mendirikan bangunan yang
berbentuk seperti rumah atau balai. Kegiatan ini disebut Balai Pangun Jandau
atau membangun balai dalam satu hari. Ada syarat yang harus dipenuhi yaitu
mengorbankan seekor babi yang harus dipotong sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah
balai tersebut dibangun, bakas tiwah akan memberikan tanda pada peralatan yang
akan digunakan untuk ritual tiwah selanjutnya dan juga menyiapkan dawen silar
yang digunakan untuk palas bukit nantinya.
Sangkaraya Sandung Raung
Selanjutnya membangun balai kecil yang tinggi dengan 6 tiang
di sisinya. Sandung Raung ini diletakan di depan rumah bakas tiwah yang
nantinya akan diisi dengan tulang dari masing-masing salumpuk liau. Kemudian,
dilanjutkan dengan mengorbankan babi lalu diambil darahnya untuk memalas atau
mengolesi sangkaraya sandung raung.
Setelah itu, disekitar sandung raung dipasang kain dan
bendera berwarna kuning. Pada prosesi tiwah ini diiringi alunan alat-alat musik
seperti garantung, toroi, katambung, gandang, kangkanung dan tarai. Namun,
semua peralatan musik tersebut harus dibaluri darah binatang terlebih dahulu
sebelum dimainkan.
Tihang Mandera
Setelah prosesi sandung raung, selanjutnya mendirikan tiang
yang cukup panjang yang disebut Tihang Mandera. Makna didirikan tiang ini
sebagai tanda jika di kampung tersebut sedang berlangsung upacara tiwah
sehingga jalan disekitar kampung tersebut ditutup untuk umum. Sangat dilarang
untuk menerobos masuk karena jika ketahuan ada orang yang belum masuk dan belum
didipalas atau disaki maka kemungkinan orang tersebut akan ditangkap dan
dibunuh.
Pantar Tabalien
Pada hari berikutnya dibangun Pantar Tabalien yaitu semacam
patung atau ukiran yang terbuat dari kayu besi yang tingginya mencapai 50 meter
lebih. Pantar Tabalien dipercaya sebagai jalan yang akan dilalui oleh salumpuk
liau (roh orang yang meninggal) menuju surga.
Ritual tiwah Suku Dayak ini dilanjutkan dengan pengorbanan
beberapa hewan seperti kerbau, sapi dan ayam. Selain itu ada juga semacam uji
keberanian dengan menebang pohon penghalang pada acara puncaknya. Jika semua
prosesi sudah dilakukan secara sempurna maka roh orang yang meninggal dipercaya
akan bersemayam di tempat yang penuh kedamaian.