Rambu Solo’ –
Upacara kematian yang dilakukan oleh Suku Toraja sebagai bentuk penghormatan
kepada roh orang yang meninggal. Menurut kepercayaan , roh orang yang meninggal
akan menuju tempat keabadian bersama para leluhur. Selain itu, upacara ini juga
disebut sebagai bentuk pengukuhan
kematian, artinya seseorang dinyatakan resmi meninggal ketika sudah mengikuti
seluruh prosesi.
Secara harfiah, Rambu Solo’ memiliki arti asap yang arahnya
ke bawah karena prosesi Rambu Solo’ menggunakan asap dan dilakukan setelah jam
12 siang ketika matahari mulai bergerak turun. Selain itu, Rambu Solo’ juga
sering disebut Aluk Rampe Matampu’ (ritus-ritus barat) karena setelah jam 12
siang posisi matahari menuju ke arah barat. Melalui upacara ini bisa dilihat
jika masyarakat Toraja sangat menghormati leluhurnya.
Ritual Upacara Rambu Solo'
Prosesi Upacara Rambu Solo’
Pada budaya masyarakat Toraja, upacara pemakaman ini
merupakan warisan leluhur yang harus dilakukan secara turun temurun. Besar atau
kecilnya prosesi upacara tergantung dari kekayaan orang yang meninggal, semakin
kaya orang tersebut maka biaya yang dikeluarkan untuk upacara rambu solo’ juga
semakin besar.
Pada agama aluk atau animisme (percaya pada leluhur),
keluarga yang boleh menjalankan upacara pemakaman yang besar hanyalah kalangan
bangsawan saja, sedangkan kalangan rakyat hanya boleh melakukan upacara yang
biasa saja. Tempat untuk menjalankan upacara pemakaman disebut rante berupa padang rumput yang luas
yang berfungsi sebagai tempat lumbung padi yang memang sengaja dibuat oleh
keluarga yang ditinggalkan.
Alunan musik, nyanyian dan puisi menjadi bagian dari prosesi
upacara pemakaman tapi hal terebut hanya berlaku untuk kalangan bangsawan bukan
untuk pemakaman anak-anak, kalangan rendah atau golongan miskin. Maka dari itu,
bisa dibilang biaya untuk menjalankan upacara ini membutuhkan biaya yang cukup
besar.
Baca Juga: Makna Upacara Kasada Sebagai Bentuk Penghormatan Kepada Leluhur
Wajar saja jika upacara pemakaman ini tidak langsung digelar
ketika yang bersangkutan meninggal karena keluarga jenazah harus mengumpulkan
uang terlebih dahulu, mereka harus menunggu berhari-hari bahkan ada yang
menunggu sampai satu tahun lebih sampai biayanya benar-benar terkumpul. Selama menunggu, tubuh jenazah ditutupi sehelai kain
kemudian diletakkan dibawah tongkonan.
Warga Toraja percaya jika arwah orang
yang meninggal tetap tinggal di desa mereka sampai upacara pemakaman selesai
dilakukan, kemudian arwah melanjutkan perjalanan menuju puya (akhirat).
Pada rambu solo’ ada ritual khusus yang tidak boleh
dilewatkan yaitu penyembelihan kerbau atau Mantunu. Semakin kaya orang yang
meninggal maka akan semakin banyak kerbau yang harus disembelih. Dalam
penyembelihan kerbau menggunakan golok yang harus diasah terlebih dahulu sampai
tajam.
Bangkai kerbau yang sudah disembelih dipercaya dapat
memudahkan arwah dalam perjalanannya menuju puya agar lebih cepat. Selain
kerbau, ada juga ratusan babi yang disembelih pada puncak upacara rambu solo
yang diiringi musik dan tarian. Semua daging sembelihan tersebut dibagikan
kepada tamu yang datang dan dicatat, karena daging tersebut dianggap sebagai
hutang kepada keluarga jenazah.
Baca Juga : Makna Terpendam Pada Ritual Adat Ngaben di Bali
Prosesi pemakaman ada 3 cara yaitu peti mati digantung di
tebing, diletakkan di dalam gua dan disimpan di dalam makam yang berukir. Untuk
peti mati yang disimpan di makam berukir biasanya berisi jenazah orang kaya
karena membutuhkan biaya yang cukup mahal. Sedangkan peti mati yang digantung
di tebing berisi jenazah anak-anak. Tali yang digunakan untuk menggantung peti
biasanya mampu bertahan selama setahun sampai jenazah membusuk.
Beberapa daerah meletakkan peti mati di dalam gua untuk
menyimpan seluruh jasad anggota keluarganya yang sudah meninggal, di dalamnya
terdapat patung kayu yang disebut tau tau
yang menghadap ke luar gua. Semua jenazah didiamkan begitu saja sampai jasadnya
membusuk dan menjadi tengkorak.
Bagaimana Jika Jenazah Tidak Mengikuti Rambu Solo?
Masyarakat Suku Toraja memiliki kepercayaan bahwa upacara
rambu solo merupakan penyempurnaan kematian. Maka dari itu, mereka beranggapan
jika seseorang meninggal dan orang tersebut tidak mengikuti rambu solo maka
hanya dianggap sakit.
Orang yang masih dianggap sakit atau dalam keadaan lemah ini
nantinya diperlakukan seperti masih hidup. Misalkan, ketika jenazah diletakkan
di atas ranjang ketika waktu tidur, diberikan makanan dan minuman, mengajak
bercerita sambil bercanda. Hal tersebut masih terus dilakukan oleh keluarga dan
tetangga sekitar selama jenazah belum mengikuti Upacara Rambu solo.